Karawang, monitorjabar.com – Pembelian Mobil Dinas Bupati dan Wakil Bupati bermerk Mazda CX-9 Tahun 2021 di tengah Pandemi yang ditaksir seharga 998 juta menuai kritikan dari berbagai kalangan
Ketua Lodaya Karawang, Nace Permana menganggap pembelian mobil dinas Bupati dan Wakil Bupati Karawang ditengah situasi yang sulit karena karena Pandemi sangat tidak etis.
“Saat rakyatnya susah membutuhkan bantuan sembako, tidak etis ketika pejabat nya menggunakan mobil baru yang harganya fantastis dan masuk kategori mobil mewah, padahal mobil yang lama masih bisa di pakai. Kenapa tidak pakai mobil lama dulu,” kata Nace, dikantornya, Rabu (22/9/2021)
Nace juga meminta para pemimpin untuk membangun empati dan simpati terhadap situasi yang ada.
“Harusnya pemimpin itu memiliki kepekaan bahwa ia memimpin rakyat bermewah-mewahan sementara rakyatnya menderita walaupun secara aturan sudah dianggarkan ya itu sah-sah saja. Kita bicara secara nurani saja,” ujarnya.
Nace juga menyangkan rancangan anggaran pembelian mobil dinas kenapa lolos dibanggar, dari 50 anggota Dewan dari berbagai macam parpol terdiri dari partai oposisi dan koalisi tidak ada yang berteriak untuk menunda pembelian mobil dinas tersebut karena masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi.
“Proses penganggaran itu memang ada di Banggar, kalau misalkan bijak ya sudah di batalkan saja anggaran pembelian mobil dinas Bupati dan Wakil Bupati dialihkan ke yang lebih urgen salah satunya penanganan Covid,” ungkapnya.
Nace menjelaskan Fungsi DPRD itu terdiri dari fungsi Legislasi, Budgeting dan Controling, namun sayangnya fungsi kontrol nya sangat lemah.
“Harus diakui di kita ini lemahnya fungsi kontrol. Yang saya lihat ewuh-pakewuh lah jadi semua punya kepentingan. Jadi untuk melakukan tindakan tegas pada eksekutif terkesan ambivalen. Lebih banyak melakukan study banding, kungker, reses, aspirasi, pokir. Fungsi kontrol nya ini lemah, harusnya setiap digit anggaran tidak boleh lepas dari pengontrolan anggota DPRD,” katanya.
Masih kata Nace, peran partai oposisi dengan keterwakilan dewannya di parlemen seharusnya bisa menjadi penyeimbang, agar kebijakan-kebijakannya tepat dan pro terhadap rakyat.
“Kalau di pemerintahan secara umum di Indonesia dan khusunya di Karawang, pelebelan oposisi itu hanya lebelnya doang, perannya ga ada. Harusnya peran oposisi itu melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya mengkritisi kebijakan yang tidak pro rakyat, menyalahi aturan, disitu perna oposisi.
Tapi kalau disini tidak kentara mana oposisi, mana kolega karena seakan-akan semua menikmati. PR nya ya harus memilih pemimpin yang tidak memiliki banyak kepentingan. Disini salah juga rakyat yang memilih, bahkan ada istilah Cilok di Kecapan, moal nyolok lamun teu aya gocapan. Maka hasilnya seperti ini dari 50 anggota dewan tidak ada yang jadi petarung. Semua ambivalen, semua diam,” pungkasnya. (ddi)